Selasa, 09 Juli 2013

Asas dan Taktik

Oleh Soekarno
Fikiran Ra’jat, 1 Juli 1932 Nomor 1, hal. 5—8.

Bagi orang yang duduk di dalam pergerakan politik perkataan-perkataan Asas dan Taktik itu tentulah bukan perkataan-perkataan yang asing lagi. Tetapi walaupun kedua perkataan ini udah dikenali oleh dunia politik, dan walaupun tia-tiap orang yang berpartai sudah tahu tentang kedua perkataan itu, kita di sini aka mengupas juga arti dari kedua perkataan ini di dalam makna yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Oleh karena tujuannya Fikiran-Ra’jat itu ialah pertama-tama dan terutama sekali akan memberi penerangan keada Bung Marhaenis dan Pak Kromo Dongso yang beratus-ratus tahun dikekang dalam kebodohan itu, kita di sini merasa berkewajiban memberi penerangan politik kepada kelas Marhaen alias Kromo ini. Sebagaimana saudara-saudara tentu telah membaca di dalam Fikiran-Ra’jat nomor percontohan di dalam karangan yang berkepala “Wanhoopsteori”, maka rakyat jelata ialah kaum Marhaen itu harus dididik dengan surat-surat kabar, brosur, kursus dan lain-lain, agar kelas Kromo ini menjadi sadar tentang kedudukannya di dalam pergaulan hidup manusia ini.
Bermula kita tanya, apakah artinya asas itu? Asas itu ialah sendi atau dasar. Saudara tentulah sudah dengar bahwa partai itu asasnya begitu. Kita tadi bilang bahwa asas itu dasar. Apakah partai itu ada dasarnya? Memang ada. Sebab di dalam hakikatnya partai itu ialah tidak beda dengan perumahan—organisasi—yang memberi perlindungan kepada mereka yang duduk di dalam perumahan itu. Gampangannya saja kita gambarkan sesuatu partai itu sama dengan rumah besar yang melindungi beribu-ribu ya berjuta-juta anggotanya. Rumah itu tentu harus sentausa. Terutama sekali dasarnya atau pondamennya harus kuat. Sebab rumah yang pondamennya tidak tetap tentulah akan ambruk. Rumah yang begitu itu tidak geschikt (cukup) bagi perlindungan anggotanya. Maka dari itu dasarnya itu harus dari beton yang sentausa sekali agar yang tinggal di rumah itu jangan sanantiaa mempunyai hati was-was. Tetapi yang tinggal harus mempunyai hati yang tetap, bahwa itu penting sekali bagi tiap-tiap partai; terutama partai yang menamakan dirinya sendiri partai rakyat jelata tentu harus mempunyai dasar yang sentausa agar rakyat itu selamat bernaung.
Dus tiap-tiap partai politik itu mempunyai dasar yang umumnya dinamakan asas. Apakah tiap-tiap perhimpunan juga mempunyai asas. Tidak semua perhimpunan mempunyai asas. Perhimpunan agama dan juga lain-lain perhimpunan yang mengejar maksud yang luhur dan suci juga mempunyai. Tetapi yang kita perbincangkan di sini itu ialah hanya partai politik. Jadi bedanya perhimpunan biasa dengan partai politik ialah bahwa yang satu tidak berasas tetapi yang lain mempunyai asas. Bukan itu saja perbedaan antara kedua macam poerhimpunan. Masih banyak lagi perbedaan antara kedua rupa organisasi. Tetapi oleh karena kita di sini tidak akan menulis tentang perbedaannya partai politik dan perhimpunan biasa, maka kita tidak akan sebutkan semua perbedaan-perbedaan. Cukuplah kiranya kita terangkan di sini bahwa tiap-tiap partai politik harus mempunyai dasar yang kuat, oleh karena tiap-tiap partai ingin asasnya diterima oleh rakyat untuk dijadikan sendinya pemerintahan yang nanti mengatur masyarakat.

Sebagaimana kita terangkan di atas, maka tiap-tiap partai politik mempunyai asas sendiri-sendiri, oleh karena kebutuhannya dan kehendaknya golongan-golongan yang diikat didalam partai-partai itu tidak sama. Sebab pergaulan hidup itu mempunyai beberapa lapisan, maka tiap-tiap partai politik dari golongan-golongan atau lapisan itu harus mempunyai dasar dan asas yang sesuai dengan kebutuhannya dan kepentingannya golongan-golongan atau lapisan itu.
Bagi Indonesia di mana rakyatnya sebagian besar terdiri dari kaum Marhaen, maka partai Rakyat jelata harus bersifat Marhaenis. Partai rakyat jelata yang tidak berasas Maehaenis itu bukan partai rakyat sejati.
Tentulah saudara mengerti bahwa asas itu harus dikerjakan supaya partai itu bisa memberi hasil. Oleh karena itu maka tiap-tiap partai mempunyai daftar usaha—workprogram—di samping asas. Tiap-tiap tahun workprogram ini ditetapkan di dalam kongres partai, pekerjaan apakah yang akan dikerjakan oleh partai bagi tahun yang akan datang itu. Untuk mengerjakan program itu maka pemimpin partai tadi harus menggunakan taktik. Bestuur harus memilih pasal-pasal mana dari daftar usaha itu harus dikerjakan lebih dulu. Bestuur harus bisa menimbang-nimbang jalan manakah yang mereka harus ambil agar pekerjaan itu dapat hasil sebanyak-banyaknya. Pendek kata badan pimpinan harus memilih jalan yang selamat bagi partainya itu.
Oleh karena asas tadi itu adalah jadi dasarnya partai, maka segala taktiknya bestuur harus sesuai dengan asas tadi itu. Terutama taktik itu harus memberi untuk direct atau indirect bagi partai. (Direct artinya langsung. Indirect artinya tidak langsung).
Jadi taktik itu ialah hanya suatu alat yang digunakan untuk kepentingan partai. Tetapi makna taktik itu adalah lebih luas daripada itu. Seringkali taktik itu kalau dilihat dengan sekilas saja seolah-olah bertentangan dengan asas. Tidak jarang pemimpin dipersalahkan oleh karena “terlampau menjalankan taktik”, atau “menjalankan taktik yang menyalahi asas partainya”, oleh karena dunia ramai tidak mengerti apakah yang dimaksudkan oleh pemimpin partai itu. Betul, bahwa asas dan taktik itu harus berjalan bersama-sama jangan sampai bertentangan satu sama lain, tetapi di dalam perjuangan itu kadang-kadang suatu ketika di mana pemimpin itu terpaksa harus menjalankan taktik yang sukar dimengerti oleh anggotanya hingga mereka anggap dengan pikiran yang cetek saja, bahwa pemimpinnya itu menjalankan pekerjaan yang bertentangan dengan asas. Dengan contoh-contoh kita akan buktikan dengan bukti-bukti di dalam riwayat, bagaimanakah beratnya bagi pemimpin itu untuk menjalankan suatu taktik yang ia harus jalankan, tetapi yang sukar dimengerti oleh anggota-anggotanya. Terutama di dalam suatu partai radikal tiap-tiap waktu pemimpin itu berhadapan dengan soal-soal yang harus diselesaikan dengan taktik. Di dalam partai radikal maka taktik ini mempuyai arti besar sekali. Misalnya pergerakan politik berkata ada strategi dan taktik dari partai rakyat. Mengapakah kita pakai perkataan strategi dan taktik itu? Ialah karena sesuatu partai politik itu didalam hakikatnya tidak beda dengan bala tentara, sedang pemimpin-pemimpinnya itu ialah sebagai jenderal-jenderalnya barisan itu. Di dalam peperangan maka jenderal itu memberi perintah, bahwa barisan harus berjalan begini dan begitu. Kalau musuh datang, barisannya harus berbuat begini. Jika melabrak musuh, serdadu-serdadunya harus mengadakan sikap begitu, agar bisa mendapat kemenangan. Pendek kata perintah itu tidak selamanya sama. Pada suatu waktu perintah itu harus begini, tetapi buat yang lain saat perintah itu harus begitu. Perintah itu menurut keadaannya perjuangan. Inilah yang kita artikan dengan balatentara yang senantiasa ada di dalam perjuangan yang hebat sekali, maka pemimpin itu harus mengenal saat dan keadaan di mana partainya berbeda. Sering sekali taktik sekarang tidak boleh dipakai untuk besok. Oleh karena keadaannya partai itu selalu berubah, maka sudah tentulah bahwa taktik partai itu juga berubah.
Kita mulai ambil contoh dari riwayatnya pergerakan di Rusia. Sejak lahirnya revolusi di negeri Rusia ini, maka pemerintah Soviet Rusia sudah menjalankan beberapa taktik. Mula-mula Lenin dan Trotsky mempropagandakan “oorlogis-komunisme” (komunisme peperangan) untuk membasmi kapitalisme di negeri Rusia sendiri dan untuk menentang musuh-musuh dari luar negeri. Lenin dan Trotsky mengambil taktik demikian oleh karena mereka berpendapat bahwa kapitalisme internasional itu dapat dijatuhkan, jika pergerakan kaum butuh di negeri-negeri kapitalis mengadakan revolusi sebagaimana di negeri Rusia. Tetapi pendapat Lenin dan Trotsky itu ternyata salah, oleh karena pergerakan kaum buruh di Eropa Barat itu tidak sama dengan pergerakan proletar di negeri Rusia. Melihat susunan masyarakat Rusia yang mengkhawatirkan sekali, oleh karena perekonomian Rakyat tidak berjalan sama sekali, sehingga bahaya kelaparan mengamuk, maka Lenin takut kalau Rakyat akan mengadakan perlawanan terhadap pemerintah Soviet. Oleh karena itu maka Lenin mengeluarkan taktik baru, yakni “Nieuwe Ekonomische Politiek”—NEP—untuk melepaskan Rakyat Rusia dari bahaya kelaparan.NEP itu memberi sedikit jalan kepada kaum pemodal untuk usaha lagi di negeri Rusia.
Teman-temannya Lenin dan Trotsky yang tidak begitu tinggi teorinya seperti Lenin lantas tidak mufakat dengan taktik baru itu. Sebab NEP ini memberi kelonggaran kepada kaum kapitalis untuk menghidupkan kembali perusahaannya itu yang sudah dibasmi oleh peraturan-peraturan pemerintah. Mereka lantas menuduh Lenin sudah berganti haluan jadi seorang kapitalis. Tetapi walaupun Lenin sendiri dapat serangan dari kanan kiri terutama dari teman-temannya sendiri yang sefaham, ia terus jalankan taktiknya itu, oleh karena ia sendiri yakin bahwa stelsel komunisme di Rusia itu belum dapat dijalankan seratus persen. Siapakah yang betul? Dan apakah hasil NEP ini? Bahaya kelaparan yang akan membinasakan rakyat Rusia ini dapat ditolak. Perekonomiannya rakyat mulai hidup lagi.
Sekarang pemimpin-pemimpin Rusia berpendapat bahwa negeri dan rakyat Rusia bisa selekas-lekasnya dibuat sosialis asal saja cukup alat-alatnya untuk mengadakan perubahan itu. Keyakinan mereka ini mengubah lagi taktik Lenin, dan sekarang di Rusia dijalankan politik rencana lima tahun.
Sekarang palingkan muka kita ke Tiongkok. Pergerakannya Dr. Sun Yat Sen juga memberi contoh-contoh tentang kepentingan taktik itu bagi pergerakan rakyat. Semboyan yang dia ajarkan di dalam buku San Min Cu I ialah bahwa “Berkata itu gampang. Bekerja itu sulit. Tetapi mengerti itulah yang paling susah” adalah ajaran yang mengandung arti yang dalam sekali. Ajaran ini memperingatkan bahwa taktik itu memang penting sekali.
Pembaca ingat bahwa di tahun 1912 Dr. Sun Yat Sen sebagai taktik meletakkan jabatannya dari presiden republik Tiongkok, diberikannya pada Yan Shih Kai. (Taktik ini kemudian ternyata salah-wissel). Kemudian lagi, mengetahui bahwa kaum Utara (lihatlah Fikiran Ra'jat nomor percontohan) sebetulnya tidak jujur, maka Dr. Sun Yat Sen yakin bahwa dengan jatuhnya kerajaan Manchu dan dengan berdirinya republik Tiongkok saja pergerakan di dalam masyarakat Tiongkok itu sebetulnya belum habis. Ia yakin seyakin-yakinnya bahwa selama di Tiongkok belum bisa memimpin negerinya sendiri. Oleh karena itu Dr. Sun Yat Sen sebagai taktik mengundurkan diri dari pemerintahan dan lantas pergi ke Kanton. Di sini ia (walaupun asasnya ialah persatuan bangsa) mendirikan pemerintahan sendiri yang cocok dengan angan-angannya dan lantas memberi pendidikan kepada Rakyat. Dari Kanton Dr. Sun Yat Sen melabrak musuh dan penghianat-penghianat Rakyat.
Juga pergerakannya Gandhi penuh dengan taktik dan strategi. Pergerakannya mengadakan pemboikotan barang Inggris, mengadakan Satiagraha dan lain-lainnya itu adalah alat-alat untuk mencapai Swaraj di India. Taktiknya sering membuat orang tercengang. Taktiknya tatkala ia bergerak di Afrika-Selatan, yaitu taktik sengaja mencari penjara dengan beribu kawannya adalah mengherankan dunia. Adalah taktik yang sangat “taktik” juga waktu Gandhi terima permintaan Inggris untuk menghadiri Konferensi “Meja Bundar” di kota London itu. Padahal taktik ini lahirnya semata-mata berupa menyalahi asas non-cooperation!
Dengan contoh-contoh di atas itu kita mengemukakan bagaimanakah besar maknanya taktik itu bagi pergerakan rakyat.
Kita ulangi lagi bahwa asas dan taktik itulah kedua syarat yang terpenting bagi organisasi massa. Politik itu perhitungan. Kita di sini luaskan lagi arti politik itu ialah: Politik itu perhitungan dan karakter (watak). Hanyalah pemimin-pemimpin yang mempunyai karakter yang jujur dan keberanian terbawa keyakinan yang teguh bisa mendatangkan keselamatan kepada rakyatnya yang dipimpin. Bukan pemimpin yang senantiasa ketakutan hilang pengaruhnya atas rakyat kalau menjalankan taktik yang “berani”, bukan pemimpin yang hanya senang disoraki Rakyat oleh karena pengecut tidak berani bertanggungjawab bisa menyelamatkan Rakyat, tetapi hanyalah pemimpin yang mempunyai “Karakter” bisa dipakai untuk pergerakan Rakyat. Pemimpin yang dengan karakter bisa menggabungkan asas dan taktik.
(Di atas inilah keterangan tentang asas dan taktik dari pergerakan Rakyat. Di Fikiran Ra'jat yang akan kita terbit kita akan kupas tentang makna dan artinya organisasi dan aksi bagi pergerakan Rakyat).

Kaum Kiri dan Reformasi

Apakah kaum kiri telah menjadi reformis?


Apakah kenyataan bahwa semakin banyak sektor Kiri di Amerika Latin dalam beberapa tahun ini mengkonsentrasikkan upaya mereka dalam ruang-ruang institusional berarti bahwa mayoritas kaum Kiri tersebut telah menjadi reformis?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus pertama-tama menjawab beberapa pertanyaan lainnya: apakah kaum Kiri yang berkonsentrasi pada hal-hal yang institusional pasti reformis? Apakah kaum Kiri yang menolak hal-hal institusional dan mengajukan solusi yang sangat radikal pasti revolusioner? Apakah mereka yang kini memilih untuk maju melalui berbagai reformasi adalah kaum reformis?

Untuk memulainya, bagi saya sepertinya penting untuk merefleksikan sesuatu yang ditulis oleh seseorang beberapa dekade yang lalu: 'Bahaya terbesar, mungkin satu-satunya bahaya bagi revolusioner sejati adalah revolusionisme yang dibesar-besarkan, yang mengabaikan batas-batas dan kondisi yang mengatur tentang metode revolusioner mana yang cocok dan dapat diterapkan dengan sukses.' Ini bukanlah perkataan seorang sosial demokrat; ini adalah perkataan seorang revolusioner - tak lain dari Lenin sendiri. Ia lanjutkan pengembangan idenya dalam perkataan ini: ' Revolusioner sejati kebanyakan menemui kejatuhannya ketika mereka mulai menulis 'revolusi' dengan huruf kapital R, dan menjunjung 'revolusi' menjadi sesuatu yang ilahiah, kehilangan akal pikiran, kehilangan kemampuan untuk merefleksikan, menimbang dan memastikan dengan cara yang paling dingin dan tanpa nafsu pada momen apa, dalam situasi apa, dan dalam wilayah aksi mana kau harus bertindak secara revolusioner, dan pada momen, dalam situasi dan wilayah mana kau harus beralih pada tindakan reformis'.

Perbedaan antara revolusi dan reformasi

Perbedaan antara kaum reformis dan kaum revolusioner tidak selalu jelas, karena - seperti dikatakan oleh Norberto Bobbio - 'reformasi tidak selalu diajukan untuk menghindari revolusi, pun revolusi tidak harus dihubungkan dengan penggunaan kekerasan'. Ketika kedua posisi ini dikembangkan menjadi hasil akhirnya yang logis, akan lebih mudah untuk membedakannya, tapi dalam praktek politik sehari-hari jauh lebih susah untuk melakukan itu.

Nyatanya, para pendiri Marxisme selalu mendukung pertempuran untuk reformasi, walaupun mereka mengetahui bahwa 'reformasi adalah nama yang diberikan untuk perubahan-perubahan yang membiarkan kekuasaan negeri di tangan kelas penguasa yang lama'.

Masalahnya bukanlah mengatakan ya atau tidak kepada reformasi, tapi memeriksa kapan saat yang masuk akal untuk memperjuangkan reformasi dan bagaimana memetik buah revolusioner darinya.

Kesimpulannya adalah, baik penggunaan kekerasan, di satu pihak, maupun penggunaan institutsi dan mengajukan reformasi, di pihak lainnya, tidak dapat digunakan sebagai kriteria dalam menarik garis demarkasi antara revolusi dan reformasi.

Maka, apa kriteria yang harus digunakan?

Menurut saya, definisi terbaik dalam pemberian label reformis adalah kepada mereka yang hendak memperbaiki tatanan yang ada melalui reformasi, dan label revolusioner kepada mereka yang, meskipun mendorong reformasi, pada saat yang sama berjuang untuk memodifikasi tatanan tersebut secara mendalam, membawa perubahan yang tidak dapat terjadi tanpa keluar dari tatanan yang ada sebelumnya.

Persyaratan yang dibutuhkan agar perjuangan institusional mencapai tujuan revolusioner

Bagaimana mungkin mendeteksi apakah suatu praktek politik yang menggunakan reformasi dan mengambil rute institusional adalah reformis atau revolusioner, khususnya ketika menyatakan tujuan perjuangan sendiri semakin tidak berarti dalam politik?

Saya mengusulkan kriteria berikut untuk menentukan se-revolusioner apa suatu praktek politik:

Pertama: bila reformasi yang diajukan disertai oleh upaya paralel untuk memperkuat gerakan rakyat, sedemikian rupa sehingga sektor rakyat yang mengorganisir diri dan bergabung dalam perjuangan semakin besar.

Kedua: bila terdapat pelajaran yang bisa dipelajari dan diajarkan ketika kaum Kiri bekerja di dalam kerangka institusional yang ada. Kampanye elektoral, contohnya, dapat menjadi ruang yang sangat baik untuk pendidikan kerakyatan, asalkan kampanyenya diarahkan untuk meningkatkan kesadaran rakyat terhadap persoalan-persoalan politik yang paling penting. Walau demikian, sebuah kampanye juga dapat tereduksi menjadi semata-mata kerja pemasaran yang, bukannya meningkatkan kesadaran, justru menyesatkan rakyat atau semata-mata tidak berperan apa pun dalam peningkatan kedewasaan politik mereka.

Ketiga: bila praktek politiknya berbeda, sehingga tidak mungkin salah membedakan antara perilaku kaum Kiri dan partai-partai politik tradisional. Ini juga harus merefleksikan upaya untuk membeberkan batasan-batasan institusi-institusi yang ada dan kebutuhan untuk mengubahnya, tapi tanpa menciptakan harapan bahwa jalur reformasi mampu menuntaskan persoalan yang membutuhkan solusi revolusioner.

Saya setuju dengan Carlos Vilas bahwa 'tantangan yang dihadapi oleh organisasi-organisasi yang di masa lalu menempuh perjuangan bersenjata atau konfrontasi politik yang intens, adalah berkaitan dengan kemampuan dan kerelaan mereka untuk tetap setia pada proposal perubahan mendasar dalam skenario institusional yang baru. Skenario yang menuntut agar dilakukan penyesuaian dalam hal gaya, ritme dan strategi, tapi dalam prinsipnya seharusnya tidak melibatkan perubahan dalam konsep-konsep yang substansial atau dalam lingkup proposal alternatif.'

Varietas reformisme

Di satu pihak, hal-hal berikut dapat digunakan sebagai indikasi penyimpangan reformis:

Pertama: kecenderungan memoderasi program dan inisiatif tanpa menawarkan "proposal alternatif terhadap tatanan yang ada", membenarkan hal ini dengan argumen - sebagaimana dianalisa di atas - bahwa politik adalah seni tentang apa yang mungkin.

Kedua: bukannya menginvestasikan waktu dan upaya untuk membakar semangat memberontak dan melawan, justru secara konstan menyerukan kepada 'pimpinan serikat buruh dan gerakan pekerja untuk menunjukkan sikap yang bertanggung-jawab dan dewasa. Ini termasuk mencoba menyalurkan upaya mereka ke dalam negosiasi dan kesepakatan yang meragukan di tingkatan atas dan menghindari demonstrasi-demonstrasi penuh perlawanan dengan alasan tidak mau membuat kekacauan dalam aparat negara atau mengobrak-ngabrik demokrasi yang kelahiran kembalinya telah susah payah diperjuangkan.

Slogan oportunistik jangan buat kegemparan jelas-jelas mennggambarkan situasi ini. Dan, sebagaimana dikatakan oleh Carlos Vilas: 'bukannya mendorong pencarian alternatif secara kreatif, slogan ini justru berfungsi memblokir semua proyek untuk perubahan dan mengadaptasi muatan dan lingkupnya ke ruang-ruang yang ditolerasi oleh sistem institusional....'

Ketiga: kecenderungan untuk bekerja secara pasif dalam institusi yang ada, tanpa berjuang untuk merubahnya atau merubah aturan mainnya.

Berapa kali telah kita dengar kaum Kiri mengeluhkan tentang kondisi tak menguntungkan yang harus dihadapinya dalam pemilihan setelah menyadari bahwa ia telah gagal mencapai hasil yang diharapkan saat pemungutan suara? Namun, kaum kiri ini juga sangat jarang mengecam aturan main selama kampanye pemilihan atau menyertakan reformasi elektoral dalam platform mereka. Justru sebaliknya; yang sering terjadi adalah dalam memburu suara, kaum Kiri, bukannya melancarkan kampanye yang mendidik dan instruktif yang membantu rakyat mengembangkan organisasi dan kesadarannya, justru menggunakan metode yang sama untuk menjual kandidatnya seperti yang dilakukan oleh kelas-kelas penguasa.

Ini artinya ketika kaum Kiri menderita kekalahan elektoral, kampanye mereka tidak hanya menyisakan frustasi, keletihan dan utang; upaya pemilu gagal menciptakan pertumbuhan politik bagi mereka yang bekerja dan mendukung kampanye, tapi meninggalkan kepahitan bahwa segalanya sia-sia. Situasi ini akan sangat berbeda bila kampanyenya direncanakan dari sudut pandang yang secara fundamental mendidik-instruksional, menggunakannya untuk memperkuat kesadaran dan organisasi kerakyatan. Dalam kasus tersebut, bahkan bila hasil pemilu jauh dari memuaskan, waktu dan upaya yang diinvestasikan dalam kampanye tidaklah hilang.

Kecenderungan untuk beradaptasi dengan lingkup pergaulan tertentu tidak saja mengekang tindakan; menurut Carlos Vilas, itu juga menciptakan 'perubahan internal dalam orientasi ideologi seseorang, dalam proposal program, dan dalam lingkup tindakannya'.

Tantangan umum yang dihadapi kaum Kiri institusional

Kemajuan institusional kaum Kiri sudah tak terbantah lagi, tapi kita tidak boleh melupakan bahwa perangkat institusi demokratik yang ada tidak saja memberikan keuntungan, tapi juga menghadirkan batasan-batasan. Sebagaimana dikatakan Enriquo Rubio, tantangan terbesar yang kita hadapi adalah menemukan cara untuk 'memaksimalkan yang awal [keuntungan] dan meminimalkan yang terakhir [batasan]'. Kita harus juga menemukan cara untuk mempersatukan kekuatan-kekuatan yang menghendaki perubahan dan tidak menginginkan tatanan yang ada - khususnya karena berpartisipasi dalam institusi borjuis berarti dengan sendirinya kita telah melegitimasikannya dalam batas-batas tertentu - dan bagaimana membangun sebuah 'perangkat institusi alternatif' melalui aksi-aksi 'beragam aktor-aktor sosial dan politik'.

Maka, terdapat banyak tantangan yang dihadapi kaum Kiri sebelum ia dapat - dengan menggunakan institusi yang ada - berhasil mengakumulasi dukungan untuk perubahan dan bukan untuk memelihara status quo.

Bagaimana menghindari terseret dalam praktek politik tradisional

Salah satu dari tantangan-tantangan ini adalah bahwa upaya keras harus dilakukan untuk menghindari terseret dalam praktek politik tradisional. Ini dapat dilakukan dengan mengembangkan praktek-praktek baru yang jelas-jelas menunjukkan perbedaan antara cara beroperasinya partai-partai kerakyatan dengan partai politik lainnya. Inilah satu-satunya cara untuk memenangkan dukungan publik yang semakin skeptis terhadap politik dan politikus.

Kedua, kaum Kiri harus menghindari terseret dalam deformasi praktek politik borjuis

Salah satu deformasi ini adalah karirisme politik, yakni gagasan bahwa seseorang harus naik melalui tingkatan jabatan, bahwa kembali menjadi sekedar anggota biasa dalam partai adalah suatu kemerosotan. Seringkali organisasinya sendiri membenarkan sikap ini dengan alasan bahwa investasi yang dilakukan dalam mendidik kader tidak dapat disia-siakan.

Dalam subyek ini, kebijakan kader yang diterapkan di Porto Alegre cukup menarik. PT (Partai Buruh) kini telah memerintah di sana selama tiga masa jabatan. Mereka telah merotasi kader antara aparat administratif, partai dan gerakan kerakyatan; dengan cara ini, pengalaman yang diraih dalam salah satu bidang ini ditransfer ke lainnya. Ini secara khusus berguna dalam kasus kader yang telah mendapat pengalaman administratif.

Sikap berbahaya lainnya adalah memilih 'lingkaran keraton' daripada bekerja sebagai jajaran anggota. Sebagaimana dikatakan Lula, beberapa tahun setelah dipilih menjadi presiden Brasil, terdapat kader yang 'tergoda oleh parfum kaum elit dan kini tidak tahan mencium bau rakyat'. Mereka sering hanya bergantung pada tembok-tembok birokratis untuk menghindari kontak langsung dengan rakyat dan cenderung menerima informasi mereka dari kelompok-kelompok penasehat, sehingga kehilangan kesempatan untuk merasakan denyut kehidupan rakyat. Mereka tampaknya tidak menyadari bahwa tirai disinformasi terkuat diciptakan oleh mereka yang bertugas untuk memberikan informasi. Para 'penasehat' ini memiliki kebiasaan menekankan yang positif dan menghapuskan yang negaitf, baik karena motif mulia yang tidak mau terlalu membebankan dan menyebabkan kecemasan terhadap mereka yang menerima nasehat, atau karena kehendak egois ingin dipuji sebagai pembawa berita bagus. Deformasi lainnya adalah menggunakan partai sebagai trampolin (pijakan) bagi kemajuan pribadi dan pers sebagai alat untuk mempercantik diri dan mempromosikan diri - padahal partai dan pers seharusnya adalah alat untuk perjuangan ideologi melawan mereka yang menindas rakyat.

Tantangan spesifik dalam pemerintahan lokal

Terdapat sejumlah tantangan spesifik dalam pemerintahan lokal.

Hindarilah apa yang disebutkan oleh seorang politikus Kiri Italia sebagai 'kretinisme negara', yakni keyakinan bahwa 'negara adalah badan yang netral', bahwa ia 'seperti botol kosong yang dapat diisi oleh cairan apa saja, dan dapat digunakan untuk keuntungan satu kelas atau lainnya dengan sama saja karena fungsinya semata-mata teknis'.

Bukanlah memerintah demi memerintah; bukan pula hanya menjalankan administrasi saat krisis. Ini adalah tentang memerintah dengan cara yang berbeda, menunjukkan dalam tingkat lokal apa yang dapat dilakukan kaum Kiri secara nasional. Sebagaimana saya katakan, pemerintahan lokal yang baik adalah - pada saat terdapat skeptisisme yang begitu besar - kartu kunjungan terbaik yang dimiliki kaum Kiri.

Bila, pada tingkat kotapraja, kaum Kiri berniat untuk menjadi lebih dari sekedar administrator yang baik terhadap kebijakan makro-ekonomi yang ditetapkan dalam tingkat pemerintahan lainnya, maka ia harus mampu mengkoordinasikan tingkat lokal atau wilayah ini dengan problem-problem nasional untuk menunjukkan kepada penduduk batasan-batasan neo-liberalisme.

Tidaklah mudah bagi kaum Kiri Amerika Latin, yang terbiasa menjadi oposisi, untuk tiba-tiba menjadi pemerintah. Salah satu tantangan terbesarnya menurut Tarso Genro, adalah 'bagaimana berhasil menjadi partai berkuasa tanpa berhenti menjadi partai perjuangan'.

Saya setuju dengan Massimo Gorla bahwa kehadiran kelompok politik 'dalam institutsi (resmi) hanya memiliki raison d'etre sepanjang ia merefleksikan suatu oposisi yang jauh lebih energetik dan berbasis massa: suatu oposisi yang berjumlah ratusan ribu pekerja yang menentang rejim dari jalanan, yang melawannya dan yang, melalui perjuangannya, membangun alternatif perubahan. Inilah oposisi sejati: perjuangan massa.'

Adalah penting untuk setia terhadap keyakinan demokratik kita, yang artinya benar-benar memberikan kekuasaan penentuan-keputusan kepada rakyat.

Anggaran Partisipatoris (sebagaimana itu kini dikenal) dalam pemerintahan lokal yang dijalankan oleh PT di Brasil, khususnya di Porto Alegre, memberikan contoh yang patut dicatat tentang bagaimana penjabaran kekuasaan diberikan kepada komunitas-komunitas terorganisir. Eksperimen serupa telah dilaksanakan di pemerintahan kota Montevideo - dijalankan oleh Frente Amplio di Uruguay - dan dalam kotapraja-kotapraja yang dikuasai oleh La Causa R di Venezuela.

Pemerintahan rakyat harus seutuhnya transparan dan rela tunduk terhadap kontrol publik dalam keuangannya, dalam penggunaan sumber daya negara dan dalam praktek-praktek kepegawaiannya.

Otonomi organisasi kerakyatan harus dihormati, dengan menerima kenyataan bahwa ketegangan dan kontradiksi antara pemerintah dan gerakan kerakyatan adalah hal yang normal. Artinya, antara lain, menghindari kecenderungan menarik pimpinan gerakan rakyat ke dalam aparat administratif. Itu juga berarti menerima dan mempromosikan otonomi gerakan kerakyatan bahkan bila mereka posisinya bertentangan dengan pemerintah.

Tantangan spesifik dalam arena electoral

Tantangan terbesar kaum Kiri dalam arena ini adalah dalam kemampuannya melawan setiap penyimpangan elektoralis, yang termanifestasikan dalam sifat-sifat berikut: (1) kecenderungan untuk menjadikan diri terpilih sebagai tujuan akhir, bukannya suatu cara untuk mengerjakan proyek transformasi sosial (kecenderungan ini menjelaskan kenapa kader berpegangan erat pada posisi legislatifnya dan memandang bahwa kembali menjadi sekedar anggota biasa adalah sesuatu yang memalukan); (2) berhubungan dengan gerakan kerakyatan hanya dalam masa pemilihan dan untuk alasan-alasan elektoral; (3) individualisme selama kampanye: mencari dana dan dukungan untuk diri sendiri dan bukan untuk partai; (4) konflik internal atas pemilihan seakan-akan anggota lainnya dari partai yang sama adalah musuh utama mereka, dan seterusnya.

Kaum Kiri harus melawan mandat individualis yang tipikal politik borjuis dan dikarakterkan oleh tidak adanya kontrol pemilih terhadap perwakilan yang mereka pilih. Suatu mandat haruslah sakral; itu harus menghormati kehendak pemilih. Maka, bila atas alasan apa pun perwakilan yang terpilih meninggalkan organisasi politik mereka ketika terpilih, maka mereka seharusnya menyerahkan kursinya.

Contoh sikap yang benar dalam hal ini, yang walau demikian digambarkan bersifat quixotik, adalah yang dilakukan oleh Hugo Cores, pemimpin Partido por la Victoria del Pueblo (Partai untuk Kemenangan Rakyat ) di Uruguay, yang merupakan utusan terpilih dari daftar koalisi Movimiento de Participacion Popular (MPP). Ketika ia meninggalkan koalisi tersebut ia mengundurkan diri dari posisinya sebagai anggota parlemen.

Atas alasan yang sama, salah satu kerja organisasi politik yang sama pentingnya atau bahkan lebih penting daripada menominasikan kandidat, adalah kontrol yang diterapkan kepada mereka setelah mereka terpilih.

Satu alasan yang selalu digunakan kaum Kiri dalam menyepakati kerja-kerja dalam institusi borjuis adalah bahwa itu memberikan ruang yang dapat digunakan untuk mensirkulasikan ide-ide Kiri kepada lebih banyak orang dan menjangkau bahkan hingga ke sektor-sektor yang paling terbelakang. Dengan kata lain, untuk mengubah parlemen menjadi pengeras suara, sebuah platform yang dapat digunakan untuk mengecam kesewenang-wenangan, pelecehan, dan ketidak-adilan sebuah rejim yang didasarkan pada penindasan. Namun kini, kontrol monopolistik kelas penguasa yang sering diterapkan kepada media telah menciptakan rintangan kebisuan yang benar-benar menghalangi tujuan ini dan sangat susah untuk diatasi bila kaum Kiri tidak cukup terwakili di parlemen.

Salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh kaum Kiri adalah bagaimana agar media melaporkan apa yang dilakukan oleh kaum Kiri. Tantangan ini hanya bisa berhasil dihadapi dengan kreatifitas yang besar - seperti yang dilakukan Zapatista dan Greenpeace - atau dengan menciptakan peristiwa-peristiwa politik yang tidak mungkin diacuhkan, seperti long-march yang penting oleh MST (Gerakan Pekerja Tanpa Tanah di Brasil) menuju ibukota Brasil pada 1997 atau anak-anak yang melukis mural-mural yang berisikan pesan-pesan demokratik di Caracas, sebagaimana yang dilakukan saat Aristobulo Isturiz menjabat walikota.

Yang juga sangat menarik adalah keberhasilan FMLN di El Salvador dalam memberitahukan rakyat tentang apa yang mereka lakukan di parlemen dengan menggelar sidang-sidang terbuka di alun-alun publik.

Kaum Kiri harus berjuang untuk mengatasi pengaruh besar media audiovisual yang dimonopoli oleh kaum kanan. Pesan-pesan mereka merasuki semua masyarakat, terutama sektor-sektor yang termiskin dan paling terinjak-injak yang, sebagaimana kita lihat sebelumnya, tidak mampu menciptakan jarak kritis dari hal-hal tersebut. Banyak yang menyerah kalah, karena berpikir bahwa pertempuran ini hanya dapat dilancarkan dalam arena yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum Kiri.

Pendekatan kreatif terhadap a-legal

Akhirnya, sebagaimana telah kita lihat, di luar wilayah arena legal dan kebaliknnya - arena ilegal - terdapat suatu arena tersendiri yang telah kami sarankan untuk disebut a-legal, arena yang tidak legal maupun ilegal. Kaum Kiri sering tak memiliki kreatifitas untuk memanfaatkan ruang ini.

Dengan melangkah maju dalam tataran institusional, menyadari tantangan-tantangan yang diberikannya dan secara kreatif mengambil alih ruang-ruang a-legal, kaum Kiri Amerika Latin dapat mengakumulasi kekuatan perubahan dan membantu mewujudkan transformasi budaya rakyat, dengan memastikan bahwa mereka mengambil tanggung jawab yang semakin besar terhadap nasib mereka. Dengan melakukan ini, kaum Kiri meletakkan fondasi bagi masyarakat baru yang hendak kita bangun - suatu masyarakat di mana rakyat adalah subyek aktif dalam semua tingkat.

Kamis, 09 Mei 2013

Bahasa Jawa lebih simple daripada bahasa Inggris



1. Walk slowly on the edge (side) of the road: MLIPIR

2. Falling backward and then hit own head: NGGEBLAK

3. Falling/tripping forward (and may hit own face): KEJLUNGUP

4. Smearing one’s body with hot ointment or liquid and then massaging it:MBLONYOHI

5. Got hit by a truck that moving backward: KUNDURAN TRUK

6. Hot pyroclastic cloud rolling down a volcano: WEDHUS GEMBEL

7. A small, sharp thing embedded inside one’s skin: KESUSUBEN

8. Things getting out from a container accidentally because of gravity:MBROJOL

9. Get hit by thing collapsing on top of one’s head/body: KEMBRUKAN

10. Drinking straight from the bottle without using glass, where the whole bootle tip gets into the mouth: NGOKOP

11. Difficult to open eyes because something is shining very bright:BLERENG

12. Hanging on thightly to something in order to be inert: GONDELAN

13. Being overly active carelessly with eyes opened wide: PECICILAN

14. Releasing ‘wind’ from the body thru a coin drawn across the back skin’s surface: KEROKAN

15. Finding by accident something good or useful without looking for it:NDILALAH

16. Expression or gesture due to a sudden appearance (of something): MAK JEGAGIK

17. Very surprise of an unexpected experience: NJENGGIRAT

18. Water come out from the mouth uncontrollably: NGENCES

19. Doing something nonchalantly with your finger: UTEK-UTEK

20. Doing a lustful ‘raid’ to a lovely lady: NGUWEK-UWEK
sumber: www.lintas.me

Sabtu, 16 Maret 2013

Kisah Cinta dan Kebesaran Hati Salman Al Farisi


dari : BLOG ALHABIB
Salman al Farisi adalah salah seorang sahabat Nabi saw yang berasal dari Persia. Salman sengaja meninggalkan kampung halamannya untuk mencari cahaya kebenaran. Kegigihannya berbuah hidayah Allah dan pertemuan dengan Nabi Muhammad saw di kota Madinah. Beliau terkenal dengan kecerdikannya dalam mengusulkan penggalian parit di sekeliling kota Madinah ketika kaum kafir Quraisy Mekah bersama pasukan sekutunya datang menyerbu dalam perang Khandaq.
Berikut ini adalah sebuah kisah yang sangat menyentuh hati dari seorang Salman Al Farisi: tentang pemahamannya atas hakikat cinta kepada perempuan dan kebesaran hati dalam persahabatan.
Salman Al Farisi sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mu’minah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai pacar. Tetapi sebagai sebuah pilihan untuk menambatkan cinta dan membangun rumah tangga dalam ikatan suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah, pelamaran.
Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang telah dipersaudarakan dengannya,Abu Darda’.
”Subhanallaah. . wal hamdulillaah. .”, girang Abu Darda’ mendengarnya. Keduanya tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abu Darda’ berbicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
"Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.”
Abu Darda dan Salman menunggu dengan berdebar-debar. Hingga sang ibu muncul kembali setelah berbincang-bincang dengan puterinya.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Keterusterangan yang di luar kiraan kedua sahabat tersebut. Mengejutkan bahwa sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya. Bayangkan sebuah perasaan campur aduk dimana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah  dan bertemu dengan gelombang kesadaran. Ya, bagaimanapun Salman memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya.
Namun mari kita simak apa reaksi Salman, sahabat yang mulia ini:
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian! 
Betapa indahnya kebesaran hati Salman Al Farisi. Ia begitu faham bahwa cinta, betapapun besarnya, kepada seorang wanita tidaklah serta merta memberinya hak untuk memiliki. Sebelum lamaran diterima, sebelum ijab qabul diikrarkan, tidaklah cinta menghalalkan hubungan dua insan. Ia juga sangat faham akan arti persahabatan sejati. Apalagi Abu Darda’ telah dipersaudarakan oleh Rasulullaah saw dengannya. Bukanlah seorang saudara jika ia tidak turut bergembira atas kebahagiaan saudaranya. Bukanlah saudara jika ia merasa dengki atas kebahagiaan dan nikmat atas saudaranya.
“Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” [HR Bukhari]
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah Salman ini

Selasa, 12 Maret 2013

Tangkuban Perahu


Beribu-ribu tahun yang lalu, tanah Parahyangan dipimpin oleh seorang raja dan seorang ratu yang hanya mempunyai seorang putri. Putri itu bernama Dayang Sumbi. Dia sangat cantik dan cerdas, sayangnya dia sangat manja. Pada suatu hari saat sedang menenun di beranda istana, Dayang Sumbi merasa lemas dan pusing. Dia menjatuhkan pintalan benangnya ke lantai berkali-kali. Saat pintalannya jatuh untuk kesekian kalinya Dayang Sumbi menjadi marah lalu bersumpah, dia akan menikahi siapapun yang mau mengambilkan pintalannya itu. Tepat setelah kata-kata sumpah itu diucapkan, datang seekor anjing sakti yang bernama Tumang dan menyerahkan pintalan itu ke tangan Dayang Sumbi. Maka mau tak mau, sesuai dengan sumpahnya, Dayang Sumbi harus menikahi Anjing tersebut.

Dayang Sumbi dan Tumang hidup berbahagia hingga mereka dikaruniai seorang anak yang berupa anak manusia tapi memiliki kekuatan sakti seperti ayahnya. Anak ini diberi nama Sangkuriang. Dalam masa pertumbuhannya, Sangkuring se lalu ditemani bermain oleh seekor anjing yang bernama Tumang yang dia ketahui hanya sebagai anjing yang setia, bukan sebagai ayahnya. Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa.

Pada suatu hari Dayang Sumbi menyuruh anaknya pergi bersama anjingnya untuk berburu rusa untuk keperluan suatu pesta. Setelah beberapa lama mencari tanpa hasil, Sangkuriang merasa putus asa, tapi dia tidak ingin mengecewakan ibunya. Maka dengan sangat terpaksa dia mengambil sebatang panah dan mengarahkannya pada Tumang. Setibanya di rumah dia menyerahkan daging Tumang pada ibunya. dayanng Sumbi yang mengira daging itu adalah daging rusa, merasa gembira atas keberhasilan anaknya.
Segera setelah pesta usai Dayang Sumbi teringat pada Tumang dan bertanya pada pada anaknya dimana Tumang berada. Pada mulanya Sangkuriang merasa takut, tapa akhirnya dia mengatakan apa yang telah terjadi pada ibunya. Dayang Sumbi menjadi sangat murka, dalam kemarahannya dia memukul Sangkuriang hingga pingsan tepat di keningnya. Atas perbuatannya itu Dayang Sumbi diusir keluar dari kerajaan oleh ayahnya. Untungnya Sangkuriang sadar kembali tapi pukulan ibunya meninggalkan bekas luka yang sangat lebar di keningnya.Setelah dewasa, Sangkuriang pun pergi mengembara untuk mengetahui keadaan dunia luar.

Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik. Segera saja dia jatuh cinta pada wanita tersebut. Wanita itu adalah ibunya sendiri, tapi mereka tidak saling mengenali satu sama lainnya. Sangkuriang melamarnya, Dayang Sumbi pun menerima dengan senang hati. Sehari sebelum hari pernikahan, saat sedang mengelus rambut tunangannya, Dayang Sumbi melihat bekas luka yang lebar di dahi Sangkuriang, akhirnya dia menyadari bahwa dia hampir menikahi putranya sendiri. Mengetahui hal tersebut Dayang Sumbi berusaha menggagalkan pernikahannya. Setelah berpikir keras dia akhirnya memutuskan untuk mengajukan syarat perkawinan yang tak mungkin dikabulkan oleh Sangkuriang. Syaratnya adalah: Sangkuriang harus membuat sebuah bendungan yang bisa menutupi seluruh bukit lalu membuat sebuah perahu untuk menyusuri bendungan tersebut. Semua itu harus sudah selesai sebelum fajar menyingsing.

Senin, 11 Maret 2013

Negara terkecil di dunia

Negara manakah yang paling kecil di dunia? Kalau kamu menjawab Vatikan, itu kuno. Vatikan bukan lagi sebuah negara yang terkecil di dunia. Masih ada sebuah negara yang lebih kecil dari Vatikan. Negara itu adalah Sealand. Kepangeranan Sealand atau Principality Sealand atau Selandia dalam bahasa Indonesia saat ini merupakan negara terkecil di dunia saat ini. Percaya nggak percaya, negeri ini tidak berdiri diatas daratan seperti negara umumnya. Sealand berdiri diatas sebuah tower yang ditahan oleh du beton baja di tengah laut seluas 550 meter persegi. Negara ini terletak 11 kilometer di lepas pantai Harwich, sebelah timur Inggris. Negara ini hanya dapat dicapai oleh helikopter atau kapal. Sejarah Sealand dimulai ketika Perang Dunia II. Inggris yang khawatitr terhadap kekuatan Jerman membangun sejumlah pangkalan militer. Benteng ini dilengkapi dengan banyak pasukan Inggris dan dilengkapi artileri yang dirancang untuk menembak jatuh pesawat dan rudal balistik Jerman. Pangkalan militer ini ditempatkan di sepanjang pantai timur Inggris yang terletak di pinggiran wilayah perairan Inggris. Salah satu pangkalan militer itu, yang terdiri dari konstruksi beton dan besi, adalah Roughs Tower, benteng kerajaan Inggris yang terkenal. Lokasinya di sebelah utara muara Sungai Thames. Seperti halnya pangkalan laut lainnya, Roughs Tower menggunakan jangkar yang dilabuhkan ke dasar laut.Semula basis laut ini akan ditempatkan di dalam wilayah kedaulatan Inggris. Namun kemudian rencana itu berubah. Pangkalan ini ditempatkan di satu titik sekitar 7 mil laut dari pantai timur Inggris, yang artinya lebih dari dua kali jarak 3 mil laut wilayah perairan Inggris. Dengan kata lain, benteng ini berlokasi di perairan internasional Laut Utara. Setelah perang usai, Roughs Tower beserta pangkalan lainnya mulai ditinggalkan. Namun seorang purnawirawan Mayor Inggris bernama Paddy Roy Bates menduduki pulau buatan Roughs Tower dan tinggal di sana bersama keluarganya pada 2 September 1967. Setelah pembicaraan intensif dengan para pengacara ulung Inggris, Roy Bates memproklamirkan pulau itu sebagai negara miliknya. Pria itu menobatkan dirinya dengan gelar pangeran dan istrinya digelari putri. Roy pun resmi mendirikan Kerajaan Sealand. Roy Bates kemudian dikenal sebagai Roy of Sealand. Ia memberlakukan otoritas negara di pulau itu. Sejak itu keluarga kerajaan dan orang-orang lainnya yang telah menyatakan kesetiaannya pada kepangeranan Sealand mendiami pulau itu. Pada akhir 1968, Angkatan Laut Inggris menyadari jika salah satu pangkalannya diambil alih oleh seorang purnawirawan mayor. Maka agar tidak terjadi keributan, beberapa unit AL Inggris berangkat ke wilayah yang di klaim Roy Bates sebagai negara miliknya. Roy yang merasa terancam terhadap kedaulatan negaranya segera melakukan tindakan pertahanan. Karena ia adalah mantan anggota tentara Inggris serta negara yang didudukinya merupakan bekas pangkalan militer, tak heran Roy mempunyai senjata sebagai alat pertahanan negaranya. Maka ia pun menembaki kapal Inggris tersebut agar menjauh. Namun karena Roy masih memiliki kewarganegaraan Inggris, ia itangkap dan kemudian dimasukkan ke pengadilan atas tuduhan kejahatan berat. Namun justru dari sinilah sumber keberhasilan spektaluler atas klaim kedaulatan Sealand. Dalam putusannya pada 25 November 1968, Pengadilan Chelmsfort/Essex menyatakan pihaknya tidak berkompeten menangani kasus Roy karena tidak memiliki yurisdiksi di luar wilayah nasional Inggris. Ini merupakan pengakuan de facto pertama atas kepangeranan Sealand. Hukum Inggris telah memutuskan Sealand bukan bagian dari kerajaan Inggris, serta belum ada negara lain yang mengklaimnya. Karena itulah, deklarasi Pangeran Roy atas kepangeranan Sealand dinyatakan sah. Namun meskipun demikian, menurut sejumlah dokumen rahasia yang baru terungkap, Inggris masih terus memburu Sealand, kalau perlu dengan jalan kekerasan. Namun rencana itu batal karena Inggris tidak ingin membuat keributan dan kehebohan publik. Untuk menyempurnakan kelengkapan negaranya, Roy Bates mulai menyusun konstitusi yang disahkan pada 25 September 1975. Selain itu ia juga membuat lambang, bendera, lagu kebangsaan, perangko, serta mata uang Sealand yaitu Dolar Sealand yang setara dengan nilai Dolas AS. Bahkan akhirnya ada paspor kepangeranan Sealand dan paspor diplomatik Sealand yang berbasis aturan paspor internasional. Sebagai sebuah negara, Sealand pun pernah menghadapi saat-saat genting. Pada Agustus 1978, sejumlah warga Belanda datang ke Sealand atas suruhan seorang pengusaha Jerman. Mereka datang untuk membicarakan urusan bisnis dengan Sealand. Namun saat Pangeran Roy sedang berada di Inggris, pria-pria asing ini menculik putra Roy, Michael Bates dan merebut Sealand dengan cara kekerasan. Tak lama kemudian, Roy merebut kembali pulau itu dengan bantuan sekelompok anak buahnya. Para penyerang itu kemudian ditahan Roy sebagai tawanan perang. Selama penahanan itu, pemerintah Belanda dan Jerman mengajukan petisi untuk kebebasan mereka. Awalnya mereka meminta pemerintah Inggris untuk mengintervensi masalah tersebut. Namun pemerintah Inggris menolaknya dengan alasan adanya putusan pengadilan sebelumnya bahwa Inggris tidak berhak atas wilayah Sealand. Akhirnya, sebagai bentuk pengakuan de facto atas kedaulatan Sealand, pemerintah Jerman mengirimkan seorang diplomat langsung ke Sealand untuk bernegosiasi mengenai pembebasan warganya. Roy akhirnya membebaskan tawanannya. Roy bersyukur karena insiden itu tidak menimbulkan korban jiwa. Pada tahun 1987, negara-negara yang memiliki perairan laut boleh menambah luas wilayah lautnya sejauh 12 mil dari bibir pantai. Roy pun kemudian memperluas wilayah Sealand sesuai aturan tersebut. Namun setelah 30 tahun lebih, kesehatan sang kepala negara, Pangeran Roy terus memburuk seiring bertambahnya usianya. Sealand yang tidak memiliki satupun rumah sakit membuat Pangeran Roy harus terbang ke Inggris untuk dirawat. Ia menggunakan paspor Inggris akrena negaranya belum diakui secara resmi atau de jure oleh negara manapun. Kekuasaan Roy sebagai kepala negara kemudian diserahkan kepada anaknya, Michael Bates. Michael Bates kemudian resmi menjadi Pangeran Michael of Sealand yang memiliki kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. James, anak dari Michael kemudian dinobatkan menjadi Pangeran James. Belakangan Michael berencana menjual Sealand kepada orang lain, tidak termasuk aset negara. Pangeran Michael akan menjanjikan pajak yang ringan dan pemandangan yang sangat indah dari Sealand. Sejumlah pengusaha real estate yang tertarik terhadap Sealand menginginkan sebuah otonomi nantinya bagi mereka. Kamu tertarik juga untuk membeli Sealand? Boleh saja asal kamu mau membayar dengan nilai lebih dari delapan digit angka.
Reply With Quote

Sejarah Perusahaan Minyak Shell Bermula dari Indonesia

Tak banyak yang tahu, tambang pertama Shell di Indonesia. Presiden Direktur Shell Indonesia, Darwin Silalahi, menceritakan sebuah sejarah penting perusahaan Shell yang kini bermarkas di Eropa itu. Menurut Darwin, keberadaan Shell tak bisa dilepaskan dari Indonesia. Darwin mengatakan tak semua orang tahu bahwa perusahaan multinasional Shell pada awalnya melakukan bisnisnya di Indonesia tepatnya di area perkebunan Telaga Said, Deli, Sumatera Utara, di masa Indonesia masih jajahan Belanda. Adalah seorang mandor perkebunan Hindia Belanda, Aeliko Jans Zijklert, pada tahun 1880 menemukan cairan hitam di perkebunan tersebut. Sampel cairan tersebut lalu dikirim Zijklert ke Batavia untuk diteliti. Setelah mengetahui cairan hitam itu adalah minyak bumi, ia pun memutuskan berhenti menjadi mandor dan kembali ke negeri asalnya, Belanda. "Ia menawarkan idenya kepada orang Belanda yang ahli dalam bidang pengeboran untuk diajak memulai bisnis migas," tutur Darwin bercerita di Fakultas Ekonomi Bisnis, UGM, Sabtu 9 Maret 2013. Satu tahun setelah pulang ke Belanda, Zijklert datang ke Deli untuk melakukan pengeboran minyak bumi. Namun pengeboran pertama ternyata tidak berhasil karena sumber minyak bumi dalam sumur yang dibor ternyata kering. Dia pun tidak putus asa, lalu melakukan pengeboran di Telaga Said 2 dan akhirnya berhasil. “Itu penemuan minyak pertama di Indonesia. Itu juga yang memulai berdirinya industri migas yang kini dinamakan Shell,” kata Darwin. Meski perusahaan ini beroperasi pertama kali di Indonesia, seiring perjalan waktu perusahaan ini sudah berevolusi menjadi perusahaan migas terbesar di dunia. Tidak hanya bidang minyak bumi namun juga perusahaan ini merambah pada LNG bahkan menjadi pelopor kemajuan inovasi pengolahan gas bumi menjadi energi. "Hal yang patut dicontoh dari perkembangan Shell," ujar Darwin, "seseorang yang mau meninggalkan zona kenyamanan lalu terjun menjadi wirausaha. Dari seorang mandor beralih ke zona tidak aman menjadi seorang pengusaha," katanya. Kebutuhan Minyak Meningkat Kini, kebutuhan energi khususnya minyak dan gas di dunia semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk serta pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat. Namun sayangnya kebutuhan energi minyak bumi dan gas bumi tidak dibarengi semakin banyaknya penemuan ladang minyak yang baru sehingga dikhawatirkan kebutuhan minyak dengan pasokan akan timpang hingga nanti di tahun 2025. "Saat ini tidak ada lagi ditemukan lapangan migas yang baru sehingga dapat diolah untuk memenuhi permintaan. Jika pun ada maka lapangan migas baru dapat ditemukan di laut dalam, kutub, dan wilayah geografi dan geopolitik kurang stabil. Dampaknya akan terjadi kesenjangan yang tinggi antara permintaan dan suplai," kata Darwin. Menurutnya permasalahan kebutuhan migas yang tak seimbang juga akan terjadi di Indonesia. Indonesia yang dulunya dikenal sebagai sumber migas potensial dunia juga dihadapkan pada persoalan minimnya pasokan sumber migas sementara kebutuhan makin bertambah dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. “Manakala ekonomi memasuki pasar industrialisasi, maka negara lewat industri migas harus mampu men-drive kebutuhan energi,” katanya.(eh) sumber: http://abarky.blogspot.com

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites