Selasa, 09 Juli 2013

Kaum Kiri dan Reformasi

Apakah kaum kiri telah menjadi reformis?


Apakah kenyataan bahwa semakin banyak sektor Kiri di Amerika Latin dalam beberapa tahun ini mengkonsentrasikkan upaya mereka dalam ruang-ruang institusional berarti bahwa mayoritas kaum Kiri tersebut telah menjadi reformis?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus pertama-tama menjawab beberapa pertanyaan lainnya: apakah kaum Kiri yang berkonsentrasi pada hal-hal yang institusional pasti reformis? Apakah kaum Kiri yang menolak hal-hal institusional dan mengajukan solusi yang sangat radikal pasti revolusioner? Apakah mereka yang kini memilih untuk maju melalui berbagai reformasi adalah kaum reformis?

Untuk memulainya, bagi saya sepertinya penting untuk merefleksikan sesuatu yang ditulis oleh seseorang beberapa dekade yang lalu: 'Bahaya terbesar, mungkin satu-satunya bahaya bagi revolusioner sejati adalah revolusionisme yang dibesar-besarkan, yang mengabaikan batas-batas dan kondisi yang mengatur tentang metode revolusioner mana yang cocok dan dapat diterapkan dengan sukses.' Ini bukanlah perkataan seorang sosial demokrat; ini adalah perkataan seorang revolusioner - tak lain dari Lenin sendiri. Ia lanjutkan pengembangan idenya dalam perkataan ini: ' Revolusioner sejati kebanyakan menemui kejatuhannya ketika mereka mulai menulis 'revolusi' dengan huruf kapital R, dan menjunjung 'revolusi' menjadi sesuatu yang ilahiah, kehilangan akal pikiran, kehilangan kemampuan untuk merefleksikan, menimbang dan memastikan dengan cara yang paling dingin dan tanpa nafsu pada momen apa, dalam situasi apa, dan dalam wilayah aksi mana kau harus bertindak secara revolusioner, dan pada momen, dalam situasi dan wilayah mana kau harus beralih pada tindakan reformis'.

Perbedaan antara revolusi dan reformasi

Perbedaan antara kaum reformis dan kaum revolusioner tidak selalu jelas, karena - seperti dikatakan oleh Norberto Bobbio - 'reformasi tidak selalu diajukan untuk menghindari revolusi, pun revolusi tidak harus dihubungkan dengan penggunaan kekerasan'. Ketika kedua posisi ini dikembangkan menjadi hasil akhirnya yang logis, akan lebih mudah untuk membedakannya, tapi dalam praktek politik sehari-hari jauh lebih susah untuk melakukan itu.

Nyatanya, para pendiri Marxisme selalu mendukung pertempuran untuk reformasi, walaupun mereka mengetahui bahwa 'reformasi adalah nama yang diberikan untuk perubahan-perubahan yang membiarkan kekuasaan negeri di tangan kelas penguasa yang lama'.

Masalahnya bukanlah mengatakan ya atau tidak kepada reformasi, tapi memeriksa kapan saat yang masuk akal untuk memperjuangkan reformasi dan bagaimana memetik buah revolusioner darinya.

Kesimpulannya adalah, baik penggunaan kekerasan, di satu pihak, maupun penggunaan institutsi dan mengajukan reformasi, di pihak lainnya, tidak dapat digunakan sebagai kriteria dalam menarik garis demarkasi antara revolusi dan reformasi.

Maka, apa kriteria yang harus digunakan?

Menurut saya, definisi terbaik dalam pemberian label reformis adalah kepada mereka yang hendak memperbaiki tatanan yang ada melalui reformasi, dan label revolusioner kepada mereka yang, meskipun mendorong reformasi, pada saat yang sama berjuang untuk memodifikasi tatanan tersebut secara mendalam, membawa perubahan yang tidak dapat terjadi tanpa keluar dari tatanan yang ada sebelumnya.

Persyaratan yang dibutuhkan agar perjuangan institusional mencapai tujuan revolusioner

Bagaimana mungkin mendeteksi apakah suatu praktek politik yang menggunakan reformasi dan mengambil rute institusional adalah reformis atau revolusioner, khususnya ketika menyatakan tujuan perjuangan sendiri semakin tidak berarti dalam politik?

Saya mengusulkan kriteria berikut untuk menentukan se-revolusioner apa suatu praktek politik:

Pertama: bila reformasi yang diajukan disertai oleh upaya paralel untuk memperkuat gerakan rakyat, sedemikian rupa sehingga sektor rakyat yang mengorganisir diri dan bergabung dalam perjuangan semakin besar.

Kedua: bila terdapat pelajaran yang bisa dipelajari dan diajarkan ketika kaum Kiri bekerja di dalam kerangka institusional yang ada. Kampanye elektoral, contohnya, dapat menjadi ruang yang sangat baik untuk pendidikan kerakyatan, asalkan kampanyenya diarahkan untuk meningkatkan kesadaran rakyat terhadap persoalan-persoalan politik yang paling penting. Walau demikian, sebuah kampanye juga dapat tereduksi menjadi semata-mata kerja pemasaran yang, bukannya meningkatkan kesadaran, justru menyesatkan rakyat atau semata-mata tidak berperan apa pun dalam peningkatan kedewasaan politik mereka.

Ketiga: bila praktek politiknya berbeda, sehingga tidak mungkin salah membedakan antara perilaku kaum Kiri dan partai-partai politik tradisional. Ini juga harus merefleksikan upaya untuk membeberkan batasan-batasan institusi-institusi yang ada dan kebutuhan untuk mengubahnya, tapi tanpa menciptakan harapan bahwa jalur reformasi mampu menuntaskan persoalan yang membutuhkan solusi revolusioner.

Saya setuju dengan Carlos Vilas bahwa 'tantangan yang dihadapi oleh organisasi-organisasi yang di masa lalu menempuh perjuangan bersenjata atau konfrontasi politik yang intens, adalah berkaitan dengan kemampuan dan kerelaan mereka untuk tetap setia pada proposal perubahan mendasar dalam skenario institusional yang baru. Skenario yang menuntut agar dilakukan penyesuaian dalam hal gaya, ritme dan strategi, tapi dalam prinsipnya seharusnya tidak melibatkan perubahan dalam konsep-konsep yang substansial atau dalam lingkup proposal alternatif.'

Varietas reformisme

Di satu pihak, hal-hal berikut dapat digunakan sebagai indikasi penyimpangan reformis:

Pertama: kecenderungan memoderasi program dan inisiatif tanpa menawarkan "proposal alternatif terhadap tatanan yang ada", membenarkan hal ini dengan argumen - sebagaimana dianalisa di atas - bahwa politik adalah seni tentang apa yang mungkin.

Kedua: bukannya menginvestasikan waktu dan upaya untuk membakar semangat memberontak dan melawan, justru secara konstan menyerukan kepada 'pimpinan serikat buruh dan gerakan pekerja untuk menunjukkan sikap yang bertanggung-jawab dan dewasa. Ini termasuk mencoba menyalurkan upaya mereka ke dalam negosiasi dan kesepakatan yang meragukan di tingkatan atas dan menghindari demonstrasi-demonstrasi penuh perlawanan dengan alasan tidak mau membuat kekacauan dalam aparat negara atau mengobrak-ngabrik demokrasi yang kelahiran kembalinya telah susah payah diperjuangkan.

Slogan oportunistik jangan buat kegemparan jelas-jelas mennggambarkan situasi ini. Dan, sebagaimana dikatakan oleh Carlos Vilas: 'bukannya mendorong pencarian alternatif secara kreatif, slogan ini justru berfungsi memblokir semua proyek untuk perubahan dan mengadaptasi muatan dan lingkupnya ke ruang-ruang yang ditolerasi oleh sistem institusional....'

Ketiga: kecenderungan untuk bekerja secara pasif dalam institusi yang ada, tanpa berjuang untuk merubahnya atau merubah aturan mainnya.

Berapa kali telah kita dengar kaum Kiri mengeluhkan tentang kondisi tak menguntungkan yang harus dihadapinya dalam pemilihan setelah menyadari bahwa ia telah gagal mencapai hasil yang diharapkan saat pemungutan suara? Namun, kaum kiri ini juga sangat jarang mengecam aturan main selama kampanye pemilihan atau menyertakan reformasi elektoral dalam platform mereka. Justru sebaliknya; yang sering terjadi adalah dalam memburu suara, kaum Kiri, bukannya melancarkan kampanye yang mendidik dan instruktif yang membantu rakyat mengembangkan organisasi dan kesadarannya, justru menggunakan metode yang sama untuk menjual kandidatnya seperti yang dilakukan oleh kelas-kelas penguasa.

Ini artinya ketika kaum Kiri menderita kekalahan elektoral, kampanye mereka tidak hanya menyisakan frustasi, keletihan dan utang; upaya pemilu gagal menciptakan pertumbuhan politik bagi mereka yang bekerja dan mendukung kampanye, tapi meninggalkan kepahitan bahwa segalanya sia-sia. Situasi ini akan sangat berbeda bila kampanyenya direncanakan dari sudut pandang yang secara fundamental mendidik-instruksional, menggunakannya untuk memperkuat kesadaran dan organisasi kerakyatan. Dalam kasus tersebut, bahkan bila hasil pemilu jauh dari memuaskan, waktu dan upaya yang diinvestasikan dalam kampanye tidaklah hilang.

Kecenderungan untuk beradaptasi dengan lingkup pergaulan tertentu tidak saja mengekang tindakan; menurut Carlos Vilas, itu juga menciptakan 'perubahan internal dalam orientasi ideologi seseorang, dalam proposal program, dan dalam lingkup tindakannya'.

Tantangan umum yang dihadapi kaum Kiri institusional

Kemajuan institusional kaum Kiri sudah tak terbantah lagi, tapi kita tidak boleh melupakan bahwa perangkat institusi demokratik yang ada tidak saja memberikan keuntungan, tapi juga menghadirkan batasan-batasan. Sebagaimana dikatakan Enriquo Rubio, tantangan terbesar yang kita hadapi adalah menemukan cara untuk 'memaksimalkan yang awal [keuntungan] dan meminimalkan yang terakhir [batasan]'. Kita harus juga menemukan cara untuk mempersatukan kekuatan-kekuatan yang menghendaki perubahan dan tidak menginginkan tatanan yang ada - khususnya karena berpartisipasi dalam institusi borjuis berarti dengan sendirinya kita telah melegitimasikannya dalam batas-batas tertentu - dan bagaimana membangun sebuah 'perangkat institusi alternatif' melalui aksi-aksi 'beragam aktor-aktor sosial dan politik'.

Maka, terdapat banyak tantangan yang dihadapi kaum Kiri sebelum ia dapat - dengan menggunakan institusi yang ada - berhasil mengakumulasi dukungan untuk perubahan dan bukan untuk memelihara status quo.

Bagaimana menghindari terseret dalam praktek politik tradisional

Salah satu dari tantangan-tantangan ini adalah bahwa upaya keras harus dilakukan untuk menghindari terseret dalam praktek politik tradisional. Ini dapat dilakukan dengan mengembangkan praktek-praktek baru yang jelas-jelas menunjukkan perbedaan antara cara beroperasinya partai-partai kerakyatan dengan partai politik lainnya. Inilah satu-satunya cara untuk memenangkan dukungan publik yang semakin skeptis terhadap politik dan politikus.

Kedua, kaum Kiri harus menghindari terseret dalam deformasi praktek politik borjuis

Salah satu deformasi ini adalah karirisme politik, yakni gagasan bahwa seseorang harus naik melalui tingkatan jabatan, bahwa kembali menjadi sekedar anggota biasa dalam partai adalah suatu kemerosotan. Seringkali organisasinya sendiri membenarkan sikap ini dengan alasan bahwa investasi yang dilakukan dalam mendidik kader tidak dapat disia-siakan.

Dalam subyek ini, kebijakan kader yang diterapkan di Porto Alegre cukup menarik. PT (Partai Buruh) kini telah memerintah di sana selama tiga masa jabatan. Mereka telah merotasi kader antara aparat administratif, partai dan gerakan kerakyatan; dengan cara ini, pengalaman yang diraih dalam salah satu bidang ini ditransfer ke lainnya. Ini secara khusus berguna dalam kasus kader yang telah mendapat pengalaman administratif.

Sikap berbahaya lainnya adalah memilih 'lingkaran keraton' daripada bekerja sebagai jajaran anggota. Sebagaimana dikatakan Lula, beberapa tahun setelah dipilih menjadi presiden Brasil, terdapat kader yang 'tergoda oleh parfum kaum elit dan kini tidak tahan mencium bau rakyat'. Mereka sering hanya bergantung pada tembok-tembok birokratis untuk menghindari kontak langsung dengan rakyat dan cenderung menerima informasi mereka dari kelompok-kelompok penasehat, sehingga kehilangan kesempatan untuk merasakan denyut kehidupan rakyat. Mereka tampaknya tidak menyadari bahwa tirai disinformasi terkuat diciptakan oleh mereka yang bertugas untuk memberikan informasi. Para 'penasehat' ini memiliki kebiasaan menekankan yang positif dan menghapuskan yang negaitf, baik karena motif mulia yang tidak mau terlalu membebankan dan menyebabkan kecemasan terhadap mereka yang menerima nasehat, atau karena kehendak egois ingin dipuji sebagai pembawa berita bagus. Deformasi lainnya adalah menggunakan partai sebagai trampolin (pijakan) bagi kemajuan pribadi dan pers sebagai alat untuk mempercantik diri dan mempromosikan diri - padahal partai dan pers seharusnya adalah alat untuk perjuangan ideologi melawan mereka yang menindas rakyat.

Tantangan spesifik dalam pemerintahan lokal

Terdapat sejumlah tantangan spesifik dalam pemerintahan lokal.

Hindarilah apa yang disebutkan oleh seorang politikus Kiri Italia sebagai 'kretinisme negara', yakni keyakinan bahwa 'negara adalah badan yang netral', bahwa ia 'seperti botol kosong yang dapat diisi oleh cairan apa saja, dan dapat digunakan untuk keuntungan satu kelas atau lainnya dengan sama saja karena fungsinya semata-mata teknis'.

Bukanlah memerintah demi memerintah; bukan pula hanya menjalankan administrasi saat krisis. Ini adalah tentang memerintah dengan cara yang berbeda, menunjukkan dalam tingkat lokal apa yang dapat dilakukan kaum Kiri secara nasional. Sebagaimana saya katakan, pemerintahan lokal yang baik adalah - pada saat terdapat skeptisisme yang begitu besar - kartu kunjungan terbaik yang dimiliki kaum Kiri.

Bila, pada tingkat kotapraja, kaum Kiri berniat untuk menjadi lebih dari sekedar administrator yang baik terhadap kebijakan makro-ekonomi yang ditetapkan dalam tingkat pemerintahan lainnya, maka ia harus mampu mengkoordinasikan tingkat lokal atau wilayah ini dengan problem-problem nasional untuk menunjukkan kepada penduduk batasan-batasan neo-liberalisme.

Tidaklah mudah bagi kaum Kiri Amerika Latin, yang terbiasa menjadi oposisi, untuk tiba-tiba menjadi pemerintah. Salah satu tantangan terbesarnya menurut Tarso Genro, adalah 'bagaimana berhasil menjadi partai berkuasa tanpa berhenti menjadi partai perjuangan'.

Saya setuju dengan Massimo Gorla bahwa kehadiran kelompok politik 'dalam institutsi (resmi) hanya memiliki raison d'etre sepanjang ia merefleksikan suatu oposisi yang jauh lebih energetik dan berbasis massa: suatu oposisi yang berjumlah ratusan ribu pekerja yang menentang rejim dari jalanan, yang melawannya dan yang, melalui perjuangannya, membangun alternatif perubahan. Inilah oposisi sejati: perjuangan massa.'

Adalah penting untuk setia terhadap keyakinan demokratik kita, yang artinya benar-benar memberikan kekuasaan penentuan-keputusan kepada rakyat.

Anggaran Partisipatoris (sebagaimana itu kini dikenal) dalam pemerintahan lokal yang dijalankan oleh PT di Brasil, khususnya di Porto Alegre, memberikan contoh yang patut dicatat tentang bagaimana penjabaran kekuasaan diberikan kepada komunitas-komunitas terorganisir. Eksperimen serupa telah dilaksanakan di pemerintahan kota Montevideo - dijalankan oleh Frente Amplio di Uruguay - dan dalam kotapraja-kotapraja yang dikuasai oleh La Causa R di Venezuela.

Pemerintahan rakyat harus seutuhnya transparan dan rela tunduk terhadap kontrol publik dalam keuangannya, dalam penggunaan sumber daya negara dan dalam praktek-praktek kepegawaiannya.

Otonomi organisasi kerakyatan harus dihormati, dengan menerima kenyataan bahwa ketegangan dan kontradiksi antara pemerintah dan gerakan kerakyatan adalah hal yang normal. Artinya, antara lain, menghindari kecenderungan menarik pimpinan gerakan rakyat ke dalam aparat administratif. Itu juga berarti menerima dan mempromosikan otonomi gerakan kerakyatan bahkan bila mereka posisinya bertentangan dengan pemerintah.

Tantangan spesifik dalam arena electoral

Tantangan terbesar kaum Kiri dalam arena ini adalah dalam kemampuannya melawan setiap penyimpangan elektoralis, yang termanifestasikan dalam sifat-sifat berikut: (1) kecenderungan untuk menjadikan diri terpilih sebagai tujuan akhir, bukannya suatu cara untuk mengerjakan proyek transformasi sosial (kecenderungan ini menjelaskan kenapa kader berpegangan erat pada posisi legislatifnya dan memandang bahwa kembali menjadi sekedar anggota biasa adalah sesuatu yang memalukan); (2) berhubungan dengan gerakan kerakyatan hanya dalam masa pemilihan dan untuk alasan-alasan elektoral; (3) individualisme selama kampanye: mencari dana dan dukungan untuk diri sendiri dan bukan untuk partai; (4) konflik internal atas pemilihan seakan-akan anggota lainnya dari partai yang sama adalah musuh utama mereka, dan seterusnya.

Kaum Kiri harus melawan mandat individualis yang tipikal politik borjuis dan dikarakterkan oleh tidak adanya kontrol pemilih terhadap perwakilan yang mereka pilih. Suatu mandat haruslah sakral; itu harus menghormati kehendak pemilih. Maka, bila atas alasan apa pun perwakilan yang terpilih meninggalkan organisasi politik mereka ketika terpilih, maka mereka seharusnya menyerahkan kursinya.

Contoh sikap yang benar dalam hal ini, yang walau demikian digambarkan bersifat quixotik, adalah yang dilakukan oleh Hugo Cores, pemimpin Partido por la Victoria del Pueblo (Partai untuk Kemenangan Rakyat ) di Uruguay, yang merupakan utusan terpilih dari daftar koalisi Movimiento de Participacion Popular (MPP). Ketika ia meninggalkan koalisi tersebut ia mengundurkan diri dari posisinya sebagai anggota parlemen.

Atas alasan yang sama, salah satu kerja organisasi politik yang sama pentingnya atau bahkan lebih penting daripada menominasikan kandidat, adalah kontrol yang diterapkan kepada mereka setelah mereka terpilih.

Satu alasan yang selalu digunakan kaum Kiri dalam menyepakati kerja-kerja dalam institusi borjuis adalah bahwa itu memberikan ruang yang dapat digunakan untuk mensirkulasikan ide-ide Kiri kepada lebih banyak orang dan menjangkau bahkan hingga ke sektor-sektor yang paling terbelakang. Dengan kata lain, untuk mengubah parlemen menjadi pengeras suara, sebuah platform yang dapat digunakan untuk mengecam kesewenang-wenangan, pelecehan, dan ketidak-adilan sebuah rejim yang didasarkan pada penindasan. Namun kini, kontrol monopolistik kelas penguasa yang sering diterapkan kepada media telah menciptakan rintangan kebisuan yang benar-benar menghalangi tujuan ini dan sangat susah untuk diatasi bila kaum Kiri tidak cukup terwakili di parlemen.

Salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh kaum Kiri adalah bagaimana agar media melaporkan apa yang dilakukan oleh kaum Kiri. Tantangan ini hanya bisa berhasil dihadapi dengan kreatifitas yang besar - seperti yang dilakukan Zapatista dan Greenpeace - atau dengan menciptakan peristiwa-peristiwa politik yang tidak mungkin diacuhkan, seperti long-march yang penting oleh MST (Gerakan Pekerja Tanpa Tanah di Brasil) menuju ibukota Brasil pada 1997 atau anak-anak yang melukis mural-mural yang berisikan pesan-pesan demokratik di Caracas, sebagaimana yang dilakukan saat Aristobulo Isturiz menjabat walikota.

Yang juga sangat menarik adalah keberhasilan FMLN di El Salvador dalam memberitahukan rakyat tentang apa yang mereka lakukan di parlemen dengan menggelar sidang-sidang terbuka di alun-alun publik.

Kaum Kiri harus berjuang untuk mengatasi pengaruh besar media audiovisual yang dimonopoli oleh kaum kanan. Pesan-pesan mereka merasuki semua masyarakat, terutama sektor-sektor yang termiskin dan paling terinjak-injak yang, sebagaimana kita lihat sebelumnya, tidak mampu menciptakan jarak kritis dari hal-hal tersebut. Banyak yang menyerah kalah, karena berpikir bahwa pertempuran ini hanya dapat dilancarkan dalam arena yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum Kiri.

Pendekatan kreatif terhadap a-legal

Akhirnya, sebagaimana telah kita lihat, di luar wilayah arena legal dan kebaliknnya - arena ilegal - terdapat suatu arena tersendiri yang telah kami sarankan untuk disebut a-legal, arena yang tidak legal maupun ilegal. Kaum Kiri sering tak memiliki kreatifitas untuk memanfaatkan ruang ini.

Dengan melangkah maju dalam tataran institusional, menyadari tantangan-tantangan yang diberikannya dan secara kreatif mengambil alih ruang-ruang a-legal, kaum Kiri Amerika Latin dapat mengakumulasi kekuatan perubahan dan membantu mewujudkan transformasi budaya rakyat, dengan memastikan bahwa mereka mengambil tanggung jawab yang semakin besar terhadap nasib mereka. Dengan melakukan ini, kaum Kiri meletakkan fondasi bagi masyarakat baru yang hendak kita bangun - suatu masyarakat di mana rakyat adalah subyek aktif dalam semua tingkat.

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites